Pada
dasarnya hampir semua penelitian dalam bidang psikologi itu relevan dengan
beberapa isu forensik. misalnya, penelitian tentang komponen genetik
schizophrenia mungkin sangat penting dalam sidang pengadilan tentang kompetensi
mental. Hakikat sikap prejudice atau elemen-elemen dasar proses persuasi juga
penting bagi pengacara. Penelitian konsumen mungkin mempunyai aplikasi langsung
pada kasus tuntutan pertanggungjawaban produk. Dan akhir-akhir ini, penelitian
tentang atribusi dan hubungan interpersonal telah diaplikasikan pada
undang-undang tentang penggeledahan dan perampasan. Akan tetapi, beberapa
bidang penelitian telah menjadi sangat dikaitkan dengan psikologi forensik, dan
dalam bagian ini akan dibahas dua bidang, yaitu kesaksian saksi mata dan
perilaku juri.
Contoh kasus pertama
Beberapa
kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang
dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian
informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan
dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian
korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu
boneka (Probowati, 2005).
Psikolog
forensik dapat melakukan otopsi psikologi. Seorang psikolog dapat menyusun
otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang
ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban
atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan
emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan
membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
Contoh kasus kedua
Proses
peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik
polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian
menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap
pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian
yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang
tepat antara lain teknik hipnosis dan wawancara kognitif.
Teknik
hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan
yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan
menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat
memunculkan ingatannya kembali.
Wawancara
kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman
tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang
akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat
saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik
wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding
teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan
pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.
Contoh kasus ketiga
Peran
psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi
ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anakseperti
perkosaan,dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis
(misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat).
Psikolog
forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait
dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan.
Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan
gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.
Thanks kk artikelnya..sangat brmanfaat :)
BalasHapusada contoh format lapaoran u profile crime
BalasHapus